Idealis di Tengah Dunia yang Pragmatis

Refleksi tentang bagaimana menjaga idealisme di tengah dunia modern yang serba pragmatis dan penuh kompromi

Admin

7/1/20254 min read

white concrete building during daytime
white concrete building during daytime

"Integritas tidak membutuhkan aturan." — Albert Camus

Pernahkah Anda merasa “kalah” hanya karena memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang? Saat teman-teman sebaya sibuk menghitung untung-rugi, menimbang apa yang paling cepat menghasilkan, Anda mungkin memilih untuk mengejar sesuatu yang lebih bermakna meski jalannya berliku. Di sinilah dilema muncul: apakah menjadi idealis hanya akan membuat kita tersingkir dalam dunia yang semakin pragmatis, atau justru menjadi penanda bahwa hidup masih punya ruang bagi nilai yang tak bisa ditakar dengan angka?

Pernahkah Anda merasa “kalah” hanya karena memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang? Saat teman-teman sebaya sibuk menghitung untung-rugi, menimbang apa yang paling cepat menghasilkan, Anda mungkin memilih untuk mengejar sesuatu yang lebih bermakna meski jalannya berliku. Di sinilah dilema muncul: apakah menjadi idealis hanya akan membuat kita tersingkir dalam dunia yang semakin pragmatis, atau justru menjadi penanda bahwa hidup masih punya ruang bagi nilai yang tak bisa ditakar dengan angka?

Menjadi idealis sering kali dianggap utopia, seolah mereka yang memilih mempertahankan prinsip hidup sedang hidup di awang-awang. Padahal, idealisme adalah fondasi yang membuat manusia tidak sepenuhnya ditelan arus pragmatisme. Pragmatisme memang menawarkan efisiensi dan kecepatan; ia menuntun kita untuk segera mengambil keputusan berdasarkan apa yang nyata, terukur, dan menguntungkan. Tetapi tanpa idealisme, pragmatisme bisa berubah menjadi sekadar mekanisme bertahan hidup yang hampa makna.

Coba kita lihat dunia pendidikan. Banyak orang menilai sekolah hanya sebagai tiket menuju pekerjaan yang layak. Orientasi belajar sering kali dibatasi pada hasil ujian, nilai rapor, atau kesempatan kerja yang lebih baik. Padahal, pendidikan mestinya juga tentang menumbuhkan karakter, melatih nurani, dan merawat imajinasi. Idealisme seorang guru yang mengajar bukan hanya demi gaji, tetapi demi menyalakan cahaya pengetahuan di benak muridnya, adalah contoh bagaimana idealisme masih memberi arti di tengah sistem yang semakin utilitarian.

Dalam politik, pragmatisme hampir selalu jadi wajah utama. Politikus berganti partai, janji bisa mudah ditukar demi suara, dan kepentingan bersama kerap kalah oleh kepentingan jangka pendek. Namun, sejarah mencatat bahwa perubahan besar justru lahir dari mereka yang berani mempertahankan idealisme. Sosok-sosok yang menolak tunduk pada kepentingan sesaat, yang teguh memperjuangkan keadilan meski konsekuensinya pahit, merekalah yang menjadi penanda bahwa politik tidak selalu identik dengan kompromi murahan.

Di dunia kerja, tekanan pragmatisme terasa lebih nyata. Banyak generasi muda dipaksa memilih pekerjaan yang aman dan menjanjikan gaji besar, ketimbang mengejar panggilan hati. Seorang penulis mungkin diminta berhenti menulis karena dianggap tak menghasilkan. Seorang seniman didorong untuk bekerja “lebih nyata” demi stabilitas finansial. Padahal, tanpa mereka yang tetap idealis—para penulis, seniman, dan pemikir—dunia akan kehilangan imajinasi, kehilangan warna, kehilangan inspirasi yang memberi arah melampaui angka-angka keuntungan.

Namun tentu saja, tidak berarti idealisme selalu benar dan pragmatisme selalu salah. Dunia butuh keseimbangan. Idealisme yang terlalu kaku bisa membuat seseorang buta pada realitas. Sebaliknya, pragmatisme yang murni materialistis akan mengikis sisi manusiawi kita. Tantangannya adalah bagaimana menjembatani keduanya. Bagaimana menjadi manusia yang realistis, tetapi tetap punya kompas nilai yang tidak bisa dibeli atau ditukar.

Di titik ini, idealisme bisa dipahami bukan sebagai kebalikan dari pragmatisme, melainkan sebagai penyeimbang. Idealisme adalah suara hati yang mengingatkan kita tentang tujuan lebih besar. Sementara pragmatisme adalah perangkat teknis yang membantu kita mencapai tujuan itu. Dengan kata lain, idealisme memberi arah, pragmatisme menyediakan kendaraan. Tanpa arah, kendaraan hanya akan berputar-putar. Tanpa kendaraan, arah hanya tinggal cita-cita.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kisah kecil yang menunjukkan bagaimana idealisme masih relevan. Seorang pedagang kecil yang menolak curang meski pelanggan tak akan tahu, seorang mahasiswa yang memilih jujur dalam ujian meski risikonya gagal, atau seorang pekerja yang membela rekan yang dizalimi meski bisa berakibat buruk pada kariernya. Tindakan-tindakan sederhana ini adalah bukti bahwa idealisme bukan sekadar slogan besar. Ia hidup di ruang kecil, pada pilihan-pilihan sehari-hari.

Pertanyaannya, mengapa idealisme penting untuk dipertahankan? Karena hidup tanpa idealisme berarti hidup tanpa arah moral. Kita memang bisa sukses secara material dengan menjadi pragmatis, tetapi keberhasilan itu akan terasa kosong jika tidak disertai rasa benar. Idealisme menjadikan manusia berbeda dari mesin. Mesin bisa efisien, mesin bisa cepat, tetapi hanya manusia yang bisa memilih untuk jujur meski rugi, menolong meski repot, atau berkorban meski tidak dikenal.

Dalam dunia global yang bergerak cepat, ada kecenderungan bahwa semua hal diukur dengan standar ekonomi. Waktu adalah uang, relasi adalah modal, bahkan nilai kemanusiaan pun sering ditimbang berdasarkan manfaat praktis. Di tengah arus besar ini, idealisme adalah bentuk perlawanan yang sunyi tapi signifikan. Ia adalah cara kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang lebih berharga daripada sekadar untung rugi: kebenaran, keadilan, dan martabat.

Kita bisa belajar dari sejarah: banyak tokoh besar yang awalnya dianggap naif karena terlalu idealis. Mereka dicemooh, dipinggirkan, bahkan dihukum. Namun justru idealisme merekalah yang kemudian menjadi mercusuar perubahan. Bayangkan jika mereka memilih pragmatis, memilih aman, memilih selamat. Dunia mungkin akan lebih nyaman, tetapi juga lebih miskin nilai.

Akhirnya, menjadi idealis di tengah dunia yang pragmatis bukan berarti menutup mata dari kenyataan. Justru sebaliknya, idealisme menuntut keberanian untuk menghadapi kenyataan, sambil tetap menjaga nurani. Idealisme bukan sekadar mimpi; ia adalah sikap yang memberi arah pada mimpi agar tidak tersesat dalam kepentingan sesaat.

Mungkin Anda tidak bisa sepenuhnya mengubah dunia dengan menjadi idealis. Tetapi dengan idealisme, Anda bisa mengubah cara Anda menjalani hidup. Anda bisa memilih untuk tetap jujur ketika mudah sekali berbohong, tetap peduli ketika semua orang sibuk dengan dirinya sendiri, tetap berprinsip ketika kompromi begitu menggoda. Di situlah kemenangan kecil dari idealisme: ia membuat hidup lebih layak dijalani, bukan hanya lebih mudah dijalani.

Dan barangkali, inilah inti dari semua itu: dunia pragmatis memang akan terus berjalan dengan logikanya sendiri. Tetapi tanpa orang-orang yang idealis, dunia ini hanya akan jadi mesin raksasa tanpa jiwa. Maka, menjadi idealis di tengah dunia yang pragmatis adalah cara kita menjaga agar kemanusiaan tetap hidup.